Umbi talas dijual dengan harga per bagian Rp 500. Ini adalah salah satu dagangan yang dijajakan di pinggir jalan Mamuju - Aralle dengan prinsip kejujuran pembeli (Foto: Muh Gufran Padjalai) |
Jika di kota-kota, kantin kejujuran dibuat dalam rangka memberikan pendidikan kejujuran kepada anak-anak sekolah, mahasiswa atau pegawai kantoran untuk pembelajaran antikorupsi, maka warga desa terutama yang berdiam di sepanjang jalan yang setiap hari dilalui para pengguna jalan di wilayah yang masuk dalam daerah Kabupaten Mamasa ini, menggunakan model kantin kejujuran sebagai sebuah kebiasaan yang telah mengakar secara turun-temurun untuk berjualan hasil bumi dan buah-buahan seperti talas, singkong, pisang, pepaya serta hasil kerajinan seperti, keranjang rotan, bakul, caping, tampah atau nyiru dan lain-lain.
Cara warga berjualan seperti ini, sangat mengutamakan kejujuran si pembeli. Sebab barang dagangan diletakkan begitu saja dalam sebuah tempat yang disediakan khusus di pinggir jalan tanpa seorang pun penjaga.
Tempat berjualan yang dibangun di pinggir jalan ini, hanya menyediakan barang dagangan disertai keterangan harga yang ditulis seadanya dan sebuah wadah yang biasanya dari kaleng atau potongan bambu untuk tempat menaruh uang bagi si pembeli yang ingin memiliki barang yang dijual tersebut.
Meski saat ini kendaraan bermotor telah masuk ke wilayah-wilayah pegunungan Sulbar yang dahulu sangat terpencil ini, namun cara berjualan seperti kantin kejujuaran ini masih terus dilakukan warga dan masih bisa disaksikan hingga saat ini.
Untuk menyaksikan kantin kejujuran ala masyarakat pegunungan PUS ini, anda hanya perlu melakukan perjalanan dari Mamuju Ibu Kota Provinsi Sulbar menuju Kecamatan Aralle Kabupaten Mamasa. Di jalur ini, masih bisa disaksikan sejumlah bangunan kecil di pinggir jalan yang di atasnya ditaruh berbagi jenis barang dengan harganya masing-masing. Juga disediakan potongan bambu dan atau kaleng untuk menyimpan uang bagi para pembeli.
Beberapa di antara tempat berjualan itu berada di pinggir jalan jauh dari pemukiman. Ada yang di bawah pohon, di antara semak-semak tempat pengguna jalan sering mengaso dan juga ada yang ditempatkan di dekat anak sungai yang airnya mengalir jernih. Ada juga yang berada tidak jauh dari rumah penduduk, tetapi suasana kampung tampak lengang. Jualan tersebut tetap tidak dijaga.
Salah seorang warga mengatakan, masyarakat di wilayah tersebut pada siang hari, pada umumnya sibuk beraktivitas di kebun dan sawah, namun mereka tetap bisa berjualan dengan mengandalkan kejujuran pembeli.
Menurutnya, kebiasaan berjualan seperti ini tidak jelas kapan dimualinya. Tapi kata dia, sepertinya kebiasaan ini telah ada secara turun-temurun sejak komunitas masyarakat ini mendiami wilayah tersebut entah berapa ratus tahun lalu. Sebab menurutnya, kebiasaan menaruh bahan makanan di sepanjang jalan tersebut, juga untuk membantu pejalan kaki yang lewat, yang mungkin saja kehabisan bekal di jalan.
Namun ia menambahkan, sejak jalan yang dahulunya hanya setapak dan hanya bisa dilalui pejalan kaki dengan alat angkutan kuda ini dibuka dan bisa diakses kendaraan bermotor, sering dagangan warga diambil begitu saja tanpa ada uang yang ditaruh sesuai harga dan tanpa ada petunjuk telah diambil oleh mereka yang kelaparan di jalan.
“Sekarang kan sudah bukan orang kita saja yang lewat di tempat ini. Setiap hari banyak pengendara yang lewat. Sudah sering ada dangangan hilang, bahkan uangnya juga hilang. Kita tidak menuduh orang luar, tapi sekarang sudah mulai berubah sejak jalan jadi ramai,” katanya dengan raut wajah agak sedih.
0 Response to "Mengenal Kantin Kejujuran Ala Masayrakat PUS, Ada Sejak Ratusan Tahun Lalu"
Posting Komentar