ilustrasi |
Selain itu, penulis juga berpikir, bersaudara secara biologis yang awalnya memang dari keturunan yang satu dan tentu kemudian semakin lama akan semakin berjarak itu - dalam konteks PUS - tidak hanya dipandang sebagai saudara dalam arti benar-benar lahir dari rahim yang sama, tetapi juga merupakan konsep "persaudaraan" yang sengaja dibuat atau dipersaudarakan oleh leluhur mereka dengan tujuan agar rumpun masyarakat yang mendiami wilayah yang berhawa sejuk ini, bisa terus-menerus menjaga kedamaian dalam ikatan harmoni sebagai "saudara" dari generasi ke generasi.
Tentang konsep dipersaudarakan atau hubungan kekerabatan yang selalu ingin didekatkan di kalangan masyarakat PUS, beberapa fakta soal ini benar-benar bisa temukan hingga saat ini. Banyak warga PUS yang awalnya tidak bersaudara atau hubungan kekerabatannya telah jauh namun kembali dipersaudarakan. Tujuan dari mempersaudarakan ini, juga dilakukan dengan cara menikahkan anak keturunan yang diistilahkan dengan mampoli' lolo bojok, artinya menurut bahasa adalah "melipat kembali pucuk labu ke arah pangkal karena sudah terlalu jauh menjalar". Maknanya menurut istilah adalah menikahkan anak dari dua keluarga berkerabat supaya bisa kembali dekat.
Menjaga hubungan persaudaraan ini juga ditemukan dalam satu falsafah yang dianut leluhur masyarakat di PUS yaitu kela mala dinyabai toak, toak tukek sola sohong: Andai bisa memberi nyawa pada pokok kayu, pokok kayupun adalah saudara.
Sedikit penjelasan; Pokok kayu dari pohon yang ditebang biasanya memang disisakan beberapa jengkal sampai satu meter dari tanah atau lebih. Pokok kayu ini kadang-kadang jika dilihat sepintas apa lagi pada malam hari, nampak menyerupai orang/manusia yang sedang berdiri. Pokok kayu inilah seandainya bisa diberi nyawa, pun juga adalah sadara.
Orang-orang terdahulu di PUS juga memilki kebiasaan menghususkan waktunya datang sampai berhari-hari nginap di rumah kerabatnya untuk sekedar berkunjung guna mengeratkan persaudaraan. Di situ mereka bercerita dan saling memberi nasehat.
Leluhur masyarakat PUS juga menganut ada' tuho (adat hidup). Ada' tuho, ada' tuo atau adat hidup. Ada' tuho berisi prinsip yang menempatkan nyawa manusia begitu sangat dihargai. Semua persoalan bisa diselesaikan damai dengan hukum adat yang telah dibuat dengan tentu saja sanksinya juga dibuat bertingkat.
Dasar utamanya adalah; mo diitang balimbunganna ada', tuho ta(m)mate mapia ta(ng)kadake; jika sudah kelihatan puncak atap rumah (kiasan) adat, hidup tak mati, baik tidak rusak. Kira-kira maknnya; jika sebuah masalah sudah dibawa atau dihadapkan pada (hukum) adat, semuanya pasti selesai.
Sebenarnya ungkapan di atas artinya bisa lebih sangat dalam dan tak cukup bermakna dengan diwakili bahasa Indonesia. Bayangkan jika ungkapan itu menggunakan kalimat "jika sudah kelihatan" masalah sudah selesai.
Dalam ungkapan ini, bahkan masalah belum ditangani; baru dibawa ke muka adat, dan baru kelihatan puncak dari (hukum) adat, masalah sudah selesai; yang hidup tidak mati, yang baik tidak rusak.. Hebat gak itu?
Soal kejujuran, kebiasan orang PUS juga sudah tidak bisa diragukan. Sebelum dikenal 'kantin kejujuran" untuk membiasakan jujur dan tak terlibat korupsi, di seluruh wilyah PUS konsep kantin kejujuran telah lama dipraktekkan.
Sisanya masih bisa kita lihat sekarang, ada jualan buah-buahan dan hasil bumi lainnya di pinggir jalan tanpa penunggu. Barangnya boleh diambil dengan meninggalkan sejumlah uang sesuai harga pada tempat yang disediakan.
Nilai-nilai inilah yang seharusnya diperkenalkan dan seharusnya kembali bisa mewarnai kehidupan masyarakat PUS di mana pun berada. Dengan diwariskan, nialai-nilai itu diharapkan bisa menjadi identias yang melekat dalam diri setiap orang PUS. Sehingga identitas PUS atau salah satu wialayah PUS tidak hanya tertera sebagai "nama" yang wujud secara fisik tanpa makna, tapi menjadi ciri utama dalam sikap dan lelaku menjalani hidup. Sebab nama boleh saja sama, tetapi sikap dan perilakulah yang menentukan. Apalah artinya atribut yang diapasang di papan nama jika tak memiliki makna. Apalah artinya cangkang tanpa isi.
Tentu cangkang penting tapi yang kita butuh adalah isinya. Boleh tidak punya rumah tapi manusia masih bisa tidur dimana saja. Boleh tidak punya tanah air (kampung) misalnya karena hidup di rantau, tapi identitas terlihat jelas, dan memberi warna di mana pun berada. Dengan begitu, di mana pun, tetap bisa menjadi pemberi solusi.
0 Response to "Di PUS Andai Bisa Diberi Nyawa, Pokok Kayu Juga Saudara "
Posting Komentar